Tuesday, March 8, 2016

Makna dan Gerakan Muhammadiyah


Untuk mensinegi arti pergerakan dengan mulai memasuki dan memahami makna Islam sebagai sebuah Agama yang lengkap dan paripurna, mengatur perilaku abstrak dan memperkuat ketahanan diri dalam interaksi sosial.

Konsepsi Islam sebagai pedoman hidup yang utuh dan menyeluruh, tidak lagi harus di formulasi dalam rumusan terbatas yang cenderung parsial, karena Islam sebagai konsep hidup di interpretasi sebagaimana adanya tanpa mengurangi dan melebihkan, dan dalam keseluruhan maknanya.

Yaitu: Islam sebagai aturan dan norma, negara dan tanah air, pemerintah dan umat, akhlak dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu dan peradilan, materi dan kekayaan alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran, sebagaimana juga ia adalah aqidah yang lurus dan ibadah yang benar, tidak kurang dan tidak lebih.

Kenapa Islam musti dimaknai sedemikian utuh? Dengan pemaknaan seperti itu, barulah Islam itu benar-benar berfungsi sebagai ruh dan system yang mengatur seluruh nadi kehidupan manusia, dalam ruang dan waktu.

Definisi ini harus dibawa dalam ruang kesadaran intelektual masyarakat muslim, sehingga menghilangkan kultus tanpa Ilmu terhadap pemikiran tertentu yang mematahkan kedalaman analisa kita, dan membunuh daya kreatifitas ilmiyah yang telah di bangun ulama dan pemikir-pemikir muslim selama berabad-abad lamanya.

Memaknai Islam dengan cara parsial hanya pada dimensi vertical tidak dengan melihat Islam sebagai panorama yang lengkap, yang seharusnya menjadi nafas dalam sukma kehidupan manusia, menjadi serpihan-serpihan kecil yang tidak dapat di mengerti menurut struktur ilmiyah Ilahiyah.

Memisahkan Islam dari panggung kehidupan nyata ini sama persis seperti dogma ortodoks yang berarti Agama untuk Agama atau religion is for God and nation is for all – memersuasi akhirat ada di hadapanya tanpa proses pengujian di laboratorium kehidupan. Sebaliknya, memahami dunia dan akhirat dengan cara sekuler.

Bukan Agama untuk kehidupan, yang konsekwensi adalah menjadikan Islam sebagai system yang hidup untuk mewarnai jagat kehidupan ini.

Setiap kali melaksanakan shalat kita pasti akan memperbaharui keyakinan kita dengan kalimat ini:

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Katakanlah (Muhammad), Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya semata-mata untuk Allah Tuhan sekalian alam. (Qs. Al-An’am: 162)

Anomali memandang Islam dengan cara yang parsial tersebut, semata-mata merugikan Islam sebagai Agama dan kehidupan ini secara keseluruhan yang membutuhkan konsep untuk mengatur.

Pandangan yang demikian sempit itu sama halnya dengan pandangan kaum ateisme yang melihat Agama sebagai candu masyarakat, dan karena Agama sebagai candu, maka mengandung dogma-dogma buta tanpa penyadaran melalui proses berfikir.

Aksioma Islam sebagai Agama dan ruh kehidupan ada di dalam Al-Qur’an dan hadits Rasulullah yang suci. Apa dampak yang paling serius atas parsialisasi tersebut? Dampaknya Islam termarginalkan dari panggung peradaban, seakan-akan Islam tidak lagi mampu menjawab problematika kehidupan nyata – bukan di kubur dalam liang pemikiran yang dangkal.

Dalam terminologi Muhammadiyah sebagai pergerakan, muncul menjadi lokomotif perubahan masyarakat dan Negara. Sebab, sebagai pergerakan Muhammadiyah yang sejak awal mencita-citakan lahirnya “Masyarakat utama yang diridhai Allah SWT.” dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, juga ikut mengawal dan bahkan menjadi unsur utama didalam merebut kemerdekaan Bangsa Indonesia dari tangan penjajah.

Muhammadiyah di sebut sebagai pergerakan karena dia berfungsi sebagai mesin pencipta peristiwa, pelakuya adalah orang-orang yang ada didalam lingkaran jama’ah yang bersama menghendaki adanya perubahan dalam semua aspek kehidupan berbangsa: Keluarga, sosial, politik, budaya, ekonomi serta ikut membantu kaum muslimin di belahan bumi yang lain – yang merupakan bagian dari tugas internasionalnya, bukan hanya urusan dalam negri. Inilah rahasia eksistensi Muhammadiyah, sebab sebuah organisasi tanpa peran internasional tidak akan membuatnya berarti di mata dunia.

Wujud dari pendalaman arti dan makna Islam yang komprehensif (kaffah) tersebut Muhammadiyah harus bergerak bersama alur makna itu, tidak boleh mengurangi dan melebihkan.

Kemunculan Muhammadiyah pada paroh awal abad 20 di tandai dengan latar pemikiran dan budaya masyarakat yang sakit, atau apa yang sering kita kenal dengan penyakit TBC (Takhayyul, Bid’ah dan Khurofat), lalu apakah penyakit itu benar-benar hilang sama sekali dalam jiwa masyarakat dan dalam cara pandang masyarakat? Ternyata tidak hilang sama sekali, dia bersembunyi di gubuk-gubuk sosial, mengakar dalam kultur dan bersarang di rumah pikiran masyarakat bersamaan dengan pola pandang mereka terhadap masalah keagamaan.

Revitalisasi pemahaman keagaman yang telah berlangsug selama hampir satu setengah abad lamanya, dalam ukuran individu angka ini menunjukan seseorang itu sudah terlalu tua dan tidak lagi dapat bergerak atau juga disebut umur kematian.

Tapi dalam ukuran sebuah pergerakan yang merupakan wujud dari umur kolektif kita yang melingkar masih tergolong sebagai umur sangat produktif. Di umur kematangan ini Muhamsmadiyah harus benar-benar ikut mematangkan struktur bangunan sosial kita yang masih di penuhi dengan warna pemikiran yang mengandung penyakit penyimpangan: Liberalisme, Sekulerisme, aliran Syi’ah, Ahmadiyah dan aliran-aliran lain.

Tidak ada yang dapat melakukan peran-peran vital ini kecuali da’i-da’i yang disiapkan dengan matang yang berkapasitas sebagai ulama, yang dapat membaca penyimpagan pemahaman aliran tersebut, di saat yang sama menjadi faktor perekat umat dan organisasi Islam lainya yang masih berpegang pada Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Adapun peran organisasi itu sejatinya berfungsi sebagai mesin penggerak aktivitas-aktivitas keumatan tersebut, dan kader-kader itulah sebagai tangan-tangan yang bergerak untuk melakukan fungsi lapangan.

Ada banyak peran yang di lakukan Muhammadiyah selama perjalanan panjang bangsa ini: Ikut mensejahterakan masyarakat melalui amal usaha, mencerdaskan anak bangsa melalui pendidikan, mengawal fluktuasi sosial akibat maraknya kristenisasi, mengkader pemimpin nasional, membina anak-anak yatim dan lain-lain. Inilah fungsi Muhammadiyah sebagai pergerakan yang bergerak seiring dengan nafas kehidupan ini di setiap lini yang ada, dan juga sebagai nadi yang dapat membaca kebutuhan masyarakat.

Peran lain yang juga paling penting bagi Muhamadiyah adalah peran politik. Di tengah keterpurukan bangsa kita di sebabkan oleh rusaknya moral para politisi karbitan yang cenderung menyederhanakan peran dan tanggung jawabnya, akibatnya korupsi tumbuh subur dimana-dimana.

Jika sebelumnya Muhamadiyah mengenal penyakit sosial yang kronis namanya TBC (Takhayyul Bid’ah dan Khurafat), sekarang penyakit kronis lain yang parah – bersembunyi di balik kebesaran namanya sebagai politisi, itulah KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme).

Penyakit ini lebih di sebabkan oleh penyakit bawaan para politisi yang cinta dunia dan di dukung oleh lingkungan birokrasi yang terlalu hierarkis. Sebagai bagian dari jihad Konstitusi setidak-tidaknya Muhammadiyah telah berkontribusi dalam mengawal proses politik dan demokrasi selama reformasi berlangsung.

Di atas semua kontribusinya tersebut, Muhammadiyah tidak boleh berhenti sampai disini. Arus Globalisasi menjadi tantangan tersendiri bagi pergerakan Islam seperti Muhammadiyah untuk memperkuat eksitensinya dengan cara memetakkan pola interaksi pada semua level masyarakat, agar dapat diterima secara loyal dengan pemahaman oleh masyarakat akar rumput dan diterima secara rasional oleh elit sosial, politik.

Sebab pada semua level masyarakat ini memiliki bahasanya masing-masing. Arus globalisasi ini pula yang sama sekali merubah pemahaman, kultur, maindsed, struktur sosial dan orientasi hidup masyarakat, inilah tantangan baru bagi Muhammadiyah.

Ada lahan kosong yang sering di lupakan oleh kebanyakan individu dan organisi Islam, termasuk Muhammadiyah, yaitu lahan spiritual. Di tengah euforya globalisi ini, masyarakat ikut arus atas semua opini yang di drive oleh media mainstream, sehingga pola pandang mereka terhadap Islam atau organisasi Islam menjadi lain.

Di sinilah masalahnya. Dulu Muhammadiyah sebagai industri pencetak ulama sekaligus akademis, sekarang pun harus seperti itu. Ulama yang senantiasa menjaga spiritual masyarakat, mengajarkan Al-Qur’an dan memperkuat keiman dengan pemahamanya.

Intinya Muhammadiyah harus dapat menangkap kekeringan spiritual masyarakat dan bangsa ini, ini adalah salah satu tugas Amar Ma’ruf Nahi Mungkar Muhammadiyah.

Dasar landasan implementasinya, yaitu Ayat:

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

Artinya: “Kalian adalah ummat terbaik yang di lahirkan untuk manusia, menyuruh kepada kebaikan, mencegah kepada kemungkaran dan mereka beriman kepada Allah” (Qs. Ali Imran: 106)

Inilah yang menjadi landasan pergerakan Muhammadiyah, sebab ini pula fungsi dasarnya. Yang menggerakan roda Muhammadiyah adalah para kader loyal dengan cita-cita perjuangan dan beramal denganya. Hidupnya Muhammadiyah jika cita-cita perjuanganya mengakar dalam memori, tertanam dalam kesadaran, hidup dalam sanubari jiwa para kadernya.

Dan matinya Muhammadiyah bersama dengan padamnya cita-cita perjuangan dalam dada kadernya. Memberikan sebanyak mungkin kepada Muhammadiyah dalam mengabdikan dirinya untuk masyarakat dan bangsa, ini pula yang di isyaratkan oleh KH. Ahmad Dahlan dengan kalimat: “ Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan cari hidup di Muhammadiyah”.

Oleh: Muflihun Abdul Majid
PCI Muhammadiyah Sudan

Sumber : sangpencerah

No comments:

Post a Comment