Sunday, September 18, 2016

Mimpi Pendidikan Karakter dan Tersembelihnya Organisasi Kemahasiswaan

Oleh: Amirullah
LP IMM - Derasnya keinginan untuk membangun nation and character building melalui pendidikan karakter terus menguat dan membahana seolah tak terbendung lagi. Hal ini bisa dipahami, karena bangsa saat ini semakin sakarat moral, kemesuman integritas, etika, akhlak, dan nasionalisme-patriotisme kini sudah diujung tanduk kehinaan.

Munculnya pribadi-pribadi palsu atau the false self, the false I yang berwujud dalam bentuk kebohongan, tipu muslihat, mental hipokrit, korupsi, kolusi, nepotisme, kekejaman, kediktatoran, dan krisis kemanusiaan lainnya, membawa bangsa ini menuju gerbang kehancuran, dan bahkan hampir menenggelamkan negeri yang sudah merdeka 71 tahun ini sesak dan tak bernafas lagi.

Sebabnya, keseluruhan aspek kehidupan berbangsa dan bernegara kita, baik politik, ekonomi, social, dan budaya telah kehilangan elan vital kepribadian dan karakter luhur.

Wajar saja, keinginan untuk menseriuskan pendidikan karakter yang tidak jarang melahirkan polemik seperti terakhir munculnya keinginan untuk menerapkan kurikulum 2013, full day school dan segala macamnya merupakan respon atas kegelisahan yang semakin memuncak.

Meskipun pendidikan karakter memang bukanlah sesuatu yang baru. Pendidikan karakter bahkan boleh dikata telah menyejarah sebagaimana sejarah panjang perjalanan umat manusia itu sendiri. Namun dalam konteks dewasa ini, keinginan untuk menerapkan pendidikan karakter masih mendayu-dayu, melayang-layang, dan semakin tidak jelas ujung pangkalnya karena ditenggelamkan oleh polemik yang tak berkesudahan.

Baiklah, sementara biarkanlah kekuasaan melalui Menristedikti dan Mendikbud berpolemik dan terus beronani dalam wacana-wacananya yang tak berujung. Pada konteks ini, kita perlu menyampaikan catatan kritik terhadap wacana pendidikan karakter yang seringkali masih melayang-layang antara ide dalam mimpi dan hasrat dalam lamunan politik.

Mimpi pemerintah untuk membangun nation and character building melalui pendidikan karakter sepertinya berbanding lurus dengan “disembelihnya” organisasi kemahasiswaan atau OKP seperti IMM, HMI, PMII, GMNI, GMKI, PMKRI, HIKMAH BUDHI, HIMMAH, KAMMI dan yang lainnya di kampus-kampus atau universitas. Nyaris organisasi-organisasi kemahasiswaan di atas sulit bernafas diruang-ruang yang segar dan asri karena dihadapkan dengan  berbagai sistim kampus yang cenderung “menyembelih” eksistensi mereka.

Sikap “sinisme” dan “antagonisme” terhadap organisasi kemahasiswaan hingga saat ini bukannya mengalami titik cair, malahan kian membeku diruang eksklusifitas dan kekakuan universitas. Jika dilihat secara historis, memang sejak adanya kebijakan NKK/BKK dilaksanakan berdasarkan SK No.0156/U/1978, rezim Orba mengarahkan mahasiswa hanya pada kegiatan akademik dan menjauhkan mereka dari aktivitas bermasyarakat dan politik.

Akibatnya tempo itu, tidak ada lagi aktivitas mahasiswa yang peduli dan kritis terhadap kondisi kebangsaan. Aktivitas mahasiswa yang bersentuhan dengan rakyat hanya sebatas Kuliah Kerja Nyata (KKN). Demikian hingga saat ini berbagai kebijakan dan sistem yang dikeluarkan pemerintah melalui universitas/perguruan tinggi kian mencekik dan bahkan “menyembelih” ruang eksplorasi, konsulidasi, dan kaderisasi organisasi kemahasiswaan.

Pada konteks inilah, organisasi kemahasiswaan (HMI, IMM, PMII, GMNI, GMKI dll) masih dipandang sebagai “anak-anak nakal” oleh penguasa yang harus dibatasi ruang geraknya. Pikiran-pikiran kusumat orde lama yang berbau tiran ini bukannya sudah siuman dalam sentuhan modernitas, malahan semakin radikal dalam modelnya yang soft approach.

Seperti sistem perkuliahan yang semakin ketat dan eksklusif, tiga kali absen kuliah langsung tidak keluar nilai, dan lain-lain, yang menjadikan organisasi kemahasiswaan makin kesulitan melakukan proses konsulidasi, eksplorasi, dan kaderisasi mahasiswa. Pada akhrinya pendidikan di universitas tidak bedanya dengan “kelas penjara” yang tercerabut dari akar kesadaran realitas social-kebangsaan.

Dalam hubungannya dengan pendidikan karakter, akui atau tidak, organisasi kemahasiswaan seperti HMI, IMM, PMII, GMNI, KAMMI, GMKI dan yang lainnya telah ikut menjadi laboratorium pendidikan karakter yang sangat berperan secara signifikan. Organisasi-organisasi ini dalam perjalanan sejarahnya hingga saat ini telah melakukan upaya-upaya penyadaran dan pencerahan melalui proses kaderisasi dan kepemimpinan.

Meskipun secara ideologis, organisasi-organisasi ini memiliki pola dan corak gerakan yang khas masing-masing, namun pada umumnya, organisasi-organisasi ini memiliki satu perspesi dalam gerakan penyadaran, yakni melawan apatisme dan hedonisme yang merupakan persoalan serius generasi muda saat ini. Dan bahkan apatisme dan hedonisme merupakan pintu bagi degradasi moral dan rontoknya kepribadian luhur anak bangsa.

Tidak hanya itu, di dalam aktifitas dan proses-proses pematangan di dalamnya, baik melalui perkaderan formal maupun aktifitas kepemimpinan, organisasi-organisasi ini selalu menitikberatkan pada pembentukan kemandirian dan tanggung jawab, kejujuran/amanah dan diplomatis, hormat dan santun, dermawan dan suka tolong-menolong, gotong royong/kerjasama, percaya diri dan pekerja keras, kepemimpinan dan keadilan, baik dan rendah hati, karakter toleransi, kedamaian dan kesatuan, religius, jujur, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat, cinta damai, gemar membaca-menulis, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung Jawab. Bukankah ini semua merupakan karakter-karakter yang hendak dibangun di dalam mimpi pendidikan karakter kita?

Jika pemerintah open minded dan sedikit menutup pintu kecurigaan yang bersifat politis terhadap organisasi kemahasiswaan, maka sesungguhnya pendidikan karakter bisa dimulai dari mahasiswa atau universitas yang merupakan akar dari konstruksi pendidikan karakter di sekolah-sekolah. Sebab pada kenyataannya, universitas menjadi rumah bagi lahirnya para pendidik, para praktisi, dan tokoh-tokoh bangsa.

Oleh karenanya, keinginan untuk menerapkan pendidikan karakter haruslah dilihat dari hulu-nya. Pendidikan karakter harus mulai dirancang dan dibangun di kampus-kampus, yakni salah satunya dengan menjadikan organisasi kemahasiswaan sebagai laboratorium bagi pendidikan karakter. Suka tidak suka, kenyataannya organisasi kemahasiswa seperti yang disebutkan di atas telah melahirkan tokoh-tokoh hebat bangsa. Baik tokoh pendidikan, praktisi, politisi, akademisi, dan lain-lain.

Sebagus apapun kurikulum dibuat, sistem dirancang, dan kebijakan pendidikan diambil, tetap saja bahwa aktualisasi pendidikan karakter tidak bisa dimanifestasikan oleh orang-orang yang dilahirkan oleh proses pendidikan yang hanya mengandalkan “kelas penjara”.

Sangat naïf kita mengharapkan pendidikan karakter berjalan dengan baik jika guru-gurunya anak mami dan papi, saat mahasiswa kerjanya kuliah-mall, kuliah-bioskop, mahasiswa yang banyak tampil seperti selebritas di panggung hiburan, lengkap dengan jaket almamater kebesarannya, bertepuk tangan dan tertawa ria dengan disorot kamera, meski tak memberikan kontribusi apa-apa kepada masyarakat sekitarnya, atau bahkan tumpul nurani dan akalnya untuk memikirkan masa depan bangsa dan negara.

Pendidikan karakter tidak mungkin bisa diserukan dan dijalankan oleh mereka-mereka yang tidak mengerti tentang kepemimpinan, tentang perjuangan, tanggung jawab, dan rasa nasionalisme-patriotisme yang tinggi. Inilah mengapa beberapa tokoh-tokoh yang lahir tahun 60-90-an mulai angkat bicara soal pentingnya tradisi organisasi di lingkup kampus untuk pembentukan karakter mahasiswa.

Prof. Mahfud MD misalnya mengatakan, “kebanyakan tokoh-tokoh dulu masuk ke perguruan tinggi tidak semata mengejar nilai tinggi. Negara rugi kalau kondisi mahasiswa seperti saat ini. Cepat lulus, cari IPK tinggi. Karena para pemimpin yang kini duduk di pemerintahan itu dahulu kuliahnya juga tak lulus cepat”.

Hal serupa disuarakan Anis Baswedan, “bahwa mereka-mereka yang berorganisasi adalah mereka yang banyak memberikan kontribusi pada masyarakat, mereka yang berpengaruh, mereka yang bisa mendorong kemajuan adalah orang-orang yang pada masa mudanya tidak hanya menghabiskan waktu di dalam ruang kelas, tapi juga di luar kelas (berorganisasi). Sementara mereka yang hanya ingin meraih IP yang tinggi hanya akan mengantarkan pada panggilan wawancara, titik.” Kata anis.

Demikian juga yang dikatakan Prof. Yunahar Ilyas bahwa, “kita kuliah itu untuk belajar menyelesaikan masalah, sementara dalam berorganisasi setiap hari kita ditimpa berbagai masalah. Di situlah kita belajar memecahkan masalah dan menyelesaikannya”.

Jadi, penerapan pendidikan karakter memerlukan pendekatan yang komprehensif yang tidak hanya dilihat dari sisi hilirnya, tetapi juga aspek hulunya harus menjadi perhatian. Jika pendidikan karakter dilihat secara parsialitas hanya seputar persoalan kurikulum untuk pendidikan dasar dan menengah, maka bukan tidak mungkin wacana pendidikan karakter hanya akan terus menjadi mimpi yang jauh dari kata terwujud.

Oleh karenanya, sudah saatnya pemerintah memberikan perhatian serius pada proses pembinaan dan kaderisasi yang mengarah pada pembentukan karakter di lingkup mahasiswa (kampus). Dan keberadaan organisasi kemahasiswaan seperti yang disebutkan di atas menjadi factor determinan. Tinggal pemerintah open mainded mau memberikan ruang yang segar dan asri bagi tumbuh-suburnya aktifitas kaderisasi dan kepemimpinan di tingkat organisasi kemahasiswaan, apalagi ditambah dengan suntikan anggaran.

Maka upaya-upaya konstruktif seperti ini bisa memudahkan manifestasi visi membangun pendidikan karakter saat ini dan di masa mendatang. Wallahu’alam

Amirullah: (Ketua DPP IMM Bidang Kader dan Mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarifhidayatullah Jakarta)

No comments:

Post a Comment