Tuesday, April 21, 2020

Kontemplasi Sosok Tokoh 21 April



Tanggal 21 April tidak asing lagi masyarakat Indonesia, anak kecil, pemuda bahkan setiap orang tahu peringatan hari apa ini. Ya benar hari Kartini. Kartini merupakan salah satu sosok pahlawan perempuan Indoensia. Beliau lahir pada 21 April 1879 di Mayong, sebuah kota kecil yang masuk dalam wilayah Karisidenan Jepara dari pasangan Raden Mas (R.M.) Sosroningrat dan Mas Ajeng Ngasirah. Kartini lahir dalam lingkungan keluarga priyayi dan bangsawan, karena itulah mengapa beliau juga diberi gelar Raden Ajeng (R.A.) di depan namanya.

Keluarga Kartini merupakan kelompok bangsawan yang berpikiran maju. Ayah R.A Kartini memberikan pendidikan Barat kepada seluruh anak-anaknya karena didorong adanya kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan demi kemajuan bangsa dan negaranya. Sampai usia 12 tahun, Kartini mendapat pendidikan di ELS (Europese Lagere School) dimana tempat Kartini belajar Bahasa Belanda. Kartini juga banyak membaca surat kabar yang terbit di Semarang yakni De Locomotief. Disamping itu Kartini sering mengirimkan tulisannya kepada majalah wanita yang terbit di Belanda, De Hollandsche Lelie. Selain membaca majalah, Kartini juga membaca buku Max Havelaar dan Surat surat Cinta karya Multatuli, lalu De Stille Kracht karya Louis Coperus, dan sebuah roman anti perang yang berjudul Die Waffen Nieder karya Berta Von Suttner.

            Karena masyarakat disekeliling R.A Kartini muda zaman itu, beliau resah akan apa yang tumbuh dalam tanah adat istiadat dan agamanya. Adat istiadat pada masa itu tidak memperbolehkan perempuan berpendidikan tinggi, bekerja diluar rumah bahkan menduduki jabatan dalam masyarakat. Seorang perempuan hanya wajib mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anaknya, dalam hal ini perempuan tidak diberi kebebasan karena cita-citanya dibatasi oleh adat istiadat dan budaya patrairki.

            Keadaan seperti itulah yang membuat Kartini merasa terkungkung dan kecewa terhadap adat istiadat dari negerinya. Hal ini terurai dalam suratnya yang diberikan kepada Nona Zeehandelaar yakni “Dan gadis yang pikirannya sudah dicerdaskan, pemandangannya sudah diperluas, tiada akan sanggup lagi hidup di dalam dunia nenek moyangnya. Sesungguhnyalah perempuan yang sebenarnya cerdas tiada mungkin merasa berbahagia dalam masyarakat Bumiputera, selama masyarakat itu tetap saja seperti sekarang.”

            Walaupun dengan berbagai adat istiadat yang berlaku, Kartini tetap mendapat kesempatan untuk merasakan pendidikan yang memadai, hal ini disebabkan kakek Kartini merupakan Bupati terkenal yang pertama-tama menyekolahkan anak-anak baik laki-laki maupun perempuan dengan pelajaran Barat. Kartini tidak hanya belajar pendidikan umum, namun juga belajar tentang pendikan agama Islam. Hal utama yang dipelajari dalam pendidikan agama islam yakni bagaimana cara membaca Al-Qur’an.

            Ajaran Islam yang berada di lingkungan Kartini sangat terbatas dan dibatasi gerak-geriknya oleh Belanda karena dianggap dapat mempengaruhi posisi Belanda. Sehingga wajar jika Kartini hanya mengerti sebatas kulit luar dari pendidikan Islam. Namun apapun kekurangan Kartini dalam hal ilmu agama Islam, Kartini tidak pernah mencederai agama sama seperti tidak pernah mencederai rakyat. Pemahaman Kartini terhadap agama Islam pun lambat laun bertambah, terlebih lagi pertemuannya dengan Kiai Sholeh Darat yang benar-benar telah membukakan mata Kartini tentang bagaimana itu Islam.

            Setelah pertemuan itu terbukalah pandangan Kartini mengenai Islam. Bahkan Kartini bertemu dengan Kiai Shaleh Darat untuk menanyakan masalah penerjemahan Al-Qu’an. Karena keingintahuan yang tinggi mengenai Al-Quran, Kartini diberikan kitab tafsir Faidh Al-Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam Malik Ad-Dayyan bersama dengan karya Kiai Shaleh Darat yang lain. Sejak lama R.A Kartini resah karena tidak mampu mencintai Al-Quran yang terlalu suci dan tidak boleh diterjemahkan kedalam bahasa manapun. “Di sini tiada seorang pun tahu bahasa Arab. Orang di sini diajarkan membaca Al-quran, tetapi yang dibacanya tiada yang ia mengerti”, demikian pengakuan dirinya tentang kebutaannya terhadap Al-Quran kepada Stella Zeehandelaar (18 Agustus 1899). Dengan demikian R.A Kartini merindukan tafsir Al-Quran agar dapat dipelajari dan dipahami.

            Mengenai bukti sejarah perjuangan R.A. Kartini, tertuang dalam Buku Habis Gelap Terbitlah Terang karya Mr. J.H. Abendanon yang judul aslinya adalah “Door Duisternis tot licht” awalnya merupakan buku dari kumpulan surat-surat R.A. Kartini kepada sahabat-sahabat Eropa. Buku kumpulan surat itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Armijn Pane “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Selain berisi kisah kehidupan Kartini, buku ini juga banyak membahas mengenai cita-cita dan harapan tinggi Kartini mengenai pendidikan dan kebebasan. Terlihat jelas salah satu keinginan Kartini untuk memajukan bangsa melalui pendidikan. Bukan hal yang mudah pada masa tersebut memiliki cita-cita mengenai pendidikan, terlebih cita-cita tersebut berasal dari seorang perempuan.

            Menurut R.A. Kartini, pendidikan perempuan merupakan satu hal yang sangat penting. Bukan hanya untuk kehidupan perempuan namun juga untuk kehidupan suatu bangsa yang lebih baik. Kartini juga menekankan bahwa pendidikan yang diterima tidak akan merubah harkat dan martabat maupun kewajiban perempuan sebagai seorang istri. Justru dengan pendidikan akan dapat menunjang peran seorang ibu sebagai madrasah pertama bagi anak.

            Kartini yang berkorespodensi langsung dengan tokoh feminis Belanda Stella Zeehandelaar yang secara tidak langsung juga telah terpengaruh oleh konsep-konsep feminisme liberal. Hal ini dapat dilihat dari program utamanya yaitu membebaskan perempuan dari kebutaan pendidikan atau pengetahuan dengan mendirikan sekolah khusus, agar hak perempuan untuk mengikuti pendidikan setara dengan hak pendidikan untuk laki-laki.

            Menurut Kartini, terdapat 5 poin penting mengenai konsep pendidikan perempuan, yaitu, Pertama: perempuan tempat pendidikan yang pertama, Kedua: perempuan menjadi pembawa peradaban, Ketiga: pendidikan itu mendidik budi dan jiwa, Keempat: pendidikan kesetaraan laki-laki dan perempuan untuk kemajuan bangsa, dan terakhir pendidikan untuk cinta tanah air.

            Ketika kita mempelajari sejarah perjuangan R.A kartini, banyak hal yang seharusnya sebagai perempuan dapat kita maknai dan juga turut memperjuangkan usaha-usaha yang telah dilakukan oleh beliau, mulai dari bagaimana ia melewati masa pingit nya yang sering disebut masa kegelapan hingga masa kebebasan dan kehidupan baru dalam menjalankan kewajiban hakiki seperti yang dituntut oleh tradisi asli Jawa kepada bandoronya untuk membela kepentingan rakyat.

            Ituah sedikit refleksi sejarah perjuangan salah satu tokoh Pahalawan Perempuan Indonesia yang namanya menjadi nama hari dalam peringatan hari nasional Indonesia. Semoga segala apa yang menjadi refleksi kita tidak hanya sebagai bentuk simbolis semata namun dapat senantiasa memahami dan memaknai esensi dari Hari Kartini, juga hari lainnya.



Fastabiqul Khaerat



Ketua Bidang IMMawati PC IMM Bone
Periode 2020-2021


           

No comments:

Post a Comment