Monday, June 8, 2020

Menilik Amanah dalam Pengejawantahan Tiap Diri



Ketika amanah ditawarkan kepada langit, bumi, dan gunung, semuanya enggan untuk menerima amanah tersebut.

"Salah seorang yang dirindukan surga adalah orang yang menjaga amanah. Allah SWT berfirman (yang artinya): Orang-orang yang menunaikan amanah dan menepati janji...mereka itulah yang mewarisi, yakni mewarisi Surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya" (QS al-Mu'minun [23]: 8-11).

Maka sejatinya sebuah kesadaran dibutuhkan oleh setiap insan untuk menerima amanah yang dititpkan oleh Allah SWT., kepadanya, dan menerimanya dengan sebuah keyakinan. Hal ini akan menjadi sebuah kesadaran tersendiri agar kita mampu mengingatkan diri sendiri, dan juga saling mengingatkan kepada orang lain yang juga telah mendapatkan amanah.

Saat amanah berada dipundak, seringkali kita dihadapkan pada berbagai permasalahan hingga membuat kita terasa begitu lemah. Membuat nyali ciut bahkan tak jarang membuat kita berfikir masalah yang dihadapi tak dapat diselesaikan. 

Tidak jarang pun kita mengeluh akan amanah yang begitu berat, perjuangan yang tak kunjung usai dan terlalu banyak labirin yang harus kita lalui. Semua terasa begitu menghimpit hingga membuat kita merasa sesak. Apalagi ketika kita sedang merasa semangat tiba-tiba menjadi melemah dan surut, yang sedikit demi sedikit terasa padam. Astaghfirullah, saat seperti inilah hedonisme dunia akan terasa sangat menggiurkan.

Ketika kita memikirkan itu semua, memang bukan sebuah kesalahan, kondisi tersebut cukup manusiawi. Tapi bukan berarti kita mendiami dan hanya memaklumi hal tersebut. Seharusnya ada sebuah perlawanan yang kuat dari diri kita untuk kembali menjaga stabilitas keimanan hingga semangat itu kembali. Yup, sudah seharusnya kita berusaha semampunya. Karena siapa lagi yang menguasai diri? Hanya kitalah yang mampu memenjarakan nafsu dan menjaga diri untuk tetap pada jalan-Nya.

Aduhhhh, bagaimana mungkin kita bisa begitu lemah dan begitu ragu, sedangkan janji-Nya begitu nyata, “bersama kesulitan ada kemudahan.”  Selama kita berpegang teguh pada kebenaran, Insyaa Allah tak perlu ada kekhawatiran. Dimanapun kita berada, apapun amanah kita, selama dakwah masih menjadi tujuan, Insyaa Allah, Allah bersama kita. Semoga kita diberi kekuatan dalam menjalankan amanah yang ada, agar estafet dakwah dapat terus berjalan. Aamiin.

Dan tanpa kita sadari, amanah menyadarkan kita akan banyak hal diluar jangkauan pikiran kita. Sering bukan, terbesit fikiran bahwa kita merasa tak mampu? Merasa ini bukan tanggung jawab kita? Merasa jiwa ini begitu lemah? Kadang kita fikir ini bukan tugas kita, ini tugasnya ustad dan kiyai? Bahkan sering ego kita yang menguasai, kan? Bahkan sering pula kita berpikir bahwa segala kesempatan yang terjadi hanya kita anggap sebagai sebuah kebetulan semata. Amanah telah menjawab semua pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan suatu pengejawantahan, bahwa ini adalah taggung jawab kita, bahwa kita tidak selemah yang kita fikirkan, bahwa kita harus tetap kuat, bahwa ini adalah sebuah kesempatan, bukan hanya kebetulan. 

Oya, yang kita butuhkan adalah gerak nyata dan tentunya harus diimbangi dengan meningkatkan kualitas diri bukan hanya penghafalan teori-teori semata. Harus ada keberanian untuk mengemban amanah yang telah diiyakan ataupun tak pernah diiyakan tapi amanah itu telah terlanjut memilih pundak, meskipun pada kenyataannya takkan semudah membalikkan telapak tangan.

Ingat teman, bahwa amanah itu memamg berat. Saking beratnya, ketika amanah ditawarkan kepada langit, bumi, dan gunung, semua angkat tangan. Mereka tidak mau dan merasa tidak mampu menjalankannya bahkan hanya untuk sekedar menerimanya.

"Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh," (QS al-Ahzab: 72).

Amanah itu seharusnya disyukuri karena Alhamdulillah kita masih diberi kepercayaan untuk amanah itu diberikan kepada pundak kita, dan kita harus mampu menikmati karena tanpa menikmati, maka amanah itu akan menjadi sebuah beban. Amanah sudah berat, plus dijadikan berat, maka jangan heran jika kita hampir terasa dibuat mati saking beratnya. Lagi pula sebagaian besar amanah itu sifatnya sementara. Terutama dalam hal kepemimpinan, itu hanya sementara jika ingin kita bandingkan dengan berapa banyak umur kita. Seperti sebuah ungkapan "setiap pemimpin ada masanya, dan setiap masa ada pemimpinnya".

Secara sadar tanyakanlah kepada hatimu, apakah sebenarnya niat awalan kita menerima amanah itu?


Fastabiqul Khaerat



IMMawati Masrina
Ketua Bidang Organisasi
PC IMM Bone Periode 2020-2021

No comments:

Post a Comment